Lintasan Cahaya Asia: 20 Tahun Jogja-Netpac Asian Film Festival

Blog post description.

BOOKS

3/17/20242 min read

Judul: Lintasan Cahaya Asia: 20 Tahun Jogja-Netpac Asian Film Festival

Dyna Herlina Suwarto, Titah AW, Budi Irawanto, Lulu Ratna,

Agus Mediarta, Zaki Habibi, Azalia Syahputri, Rafael Marius,

Mutiara Annisa, Chandika Dhanuwijaya

Editor: Rafael Marius, Dyna Herlina Suwarto

Cover: Yudistira Wiranata

Cetakan pertama, Oktober 2025

ISBN -

x+179 halaman | 13 x 19 cm

Harga: 92.000

Sinopsis

Dua dekade perjalanan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) merekam dinamika komunitas, industri, dan perubahan zaman. Melalui kisah para pendiri, refleksi para peneliti film, dan tafsir arsip visual, buku ini menghadirkan potret JAFF sebagai ruang hidup yang terus berevolusi—menjaga akar komunitas sambil menatap masa depan sinema Asia.


Peran terpenting sebuah festival adalah kemampuannya untuk terus memperbaiki dan menumbuhkan ekosistem film di setiap langkahnya. Selama dua dekade, JAFF berjalan bersama pertumbuhan generasi baru, kelahiran ragam film, pertumbuhan komunitas dan sekolah film, hingga dukungan masyarakat. Semua ini menjadi bagian dari perjalanan JAFF yang tidak hanya menghadirkan tontonan, tetapi juga merawat kehidupan sinema di Indonesia.

Pertama, sejak awal, JAFF berperan menumbuhkan teknokrasi baru dalam dunia film. Ketika sumber daya manusia festival masih langka, JAFF melibatkan wajah-wajah muda melalui kerja kerelawanan dan program Asian Cinema Competition, Indonesian Cinema, serta Light of Asia yang membutuhkan tim kuratorial, pemrogram, dan pengelola festival. Dari ruang ini, lahir teknokrat film yang kini menggerakkan festival dan institusi kreatif lain di Indonesia.

Kedua, JAFF juga menjadi ruang transfer pengetahuan. JAFF Workshop (2006–2017) dan JAFF Education (2018–2019) mempertemukan calon sineas muda dengan praktisi industri. Di saat bersamaan Public Lecture selalu konsisten menghadirkan diskusi tentang isu perfilman Asia sesuai tema festival dan pengetahuan film terkini. Sementara Forum Market yang baru dua tahun berjalan, menjadi ruang membaca peta industri: dari pengembangan naskah, pendanaan, hingga distribusi. Dari sini lahir kemampuan baru dalam membaca peluang global.

Ketiga, JAFF menjadi ruang transformasi tenaga kerja kreatif Jogja. Jika sebelumnya Jogja dikenal kuat di seni rupa, musik, dan teater, kini kota ini tumbuh sebagai kota film. Melalui berbagai program yang diselenggarakan JAFF seperti Public Lecture, JAFF Workshop, JAFF Education publik dapat belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan perfilman. Lebih jauh generasi muda Jogja berproses di komunitas, sekolah dan laboratorium film untuk melahirkan karya-karya baru dan festival-festival film lain. Saat ini Jogja menjadi kantong sumber daya manusia penciptaan film baik dari sebagai pendukung teknis, juru kamera, penyuntingan, musik, suara, kostum.

Keempat, saat bersamaan JAFF juga berhasil membangun jaringan komunitas yang luas. Independen Corner (2006–2008) dan Forum Komunitas (2009–sekarang) menjadi ruang temu komunitas dari seluruh Indonesia. Program Layar Komunitas bahkan memindahkan karya komunitas ke layar XXI sehingga berhasil mempertemukan komunitas film secara langsung dengan profesional film dalam posisi setara. Sementara itu, jaringan internasional terhubung melalui Asian Perspective dan kemitraan NETPAC.

Kelima, JAFF tidak dapat dipungkiri merupakan ladang subur bertumbuhnya sinema independen. Program Independent Corner (2006–2007), Light of Asia (2008–sekarang), dan Indonesian Cinema memberi ruang bagi film pendek dan film panjang yang kerap kali tidak mendapat tempat pemutaran di bioskop komersial. Di sini, karya komunitas, independen, alternatif bertemu langsung dengan audiens yang lebih luas.

Keenam, lebih jauh JAFF menjadi titik temu profesional film dan generasi baru. Fringe Events dan Public Lecture mempertemukan produser, aktor, kru, hingga sutradara ternama dengan pembuat film muda. Open Air Cinema menyatukan ribuan penonton lintas kelas sosial, sementara Meet the Filmmakers memungkinkan percakapan intim. Pertemuan ini memperkuat identitas JAFF sebagai festival yang hidup di tengah komunitas.

Ketujuh, melalui Jogja Future Project (2017–2019) dan Forum Market, JAFF memperluas perannya dalam menyatukan ekosistem film dengan masyarakat. Ruang ini mempertemukan sineas muda dengan investor, lembaga pendukung, dan jejaring global, sehingga festival tidak hanya menghadirkan tontonan, tetapi juga memikirkan masa depan sinema di tengah dinamika industri.

Garin Nugroho
Founder JAFF